Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keungan (Kemenkeu) berencana melakukan penyederhanaan nilai mata uang atau disebut redenominasi. Banyak pertimbangan yang perlu dilakukan sebelum memutuskan kebijakan tersebut diantaranya dari segi sosialisasi, situasi politik, ekonomi dan juga resiko hiper inflasi.
Menurut Direktur Intitute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, secara pencitraan, menghilangkan jumlah tiga angka nol pada pecahan rupiah cukup baik dalam mengangkat harkat mata rupiah dengan mata uang internasional. Namun dia menilai, hal tersebut tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi, namun beberapa masalah sosial seperti kondisi masyarakat juga menjadi perhatian.
Hal ini disebabkan dari kegiatan sektor bisnis di Indonesia, hampir 50% persen lebih bisnis Tanah Air merupakan Usaha Kecil Menengah (UKM). Kendati UKM tidak berkontribusi besar terhadap ekonomi nasional, konsep redenominasi perlu disosialisasikan secara benar, baik, dan komprehensif kepada masyarakat yang masuk dalam kegiatan bisnis tersebut.
"Untuk melakukan sosialiasi redominasi itu tidak sederhana. Banyak hal yang perlu ditekankan mengingat aspek pendidikan dan budaya masyarakat berbeda-beda. Ini yang perlu dipastikan oleh pemerintah yaitu menaungi segi aspek pendidikan dan kebudayaan," katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Minggu (16/12/2012).
Enny menambahkan, hal itu merupakan tantangan pemerintah guna mengantisipasi kelemahan-kelemahan yang muncul kepermukaan. Model serta sistem sosialisasi redominasi yang menjawab setiap aspek kepentingan masyarakat harus diciptakan sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan salah arti di kegiatan sosisalnya.
"Model sosialisasinya dibuat baiknya seperti apa. Karena bila tidak hati-hati akan menimbulkan persepsi dan pemahaman yang salah mengenai arti redominiasi itu sendiri," tuturnya.
Enny mencontohkan pemahaman awal yang perlu dilakukan pemerintah adalah memberikan pengertian arti dari sanering dan redominasi itu sendiri.
Sebagai informasi sanering merupakan penyederhanaan mata uang sekaligus menurunkan nilai mata uang itu sendiri. Pada zaman Presiden Soekarno sanering dipakai untuk menurunkan daya beli masyarakat. Sementara redominasi sendiri menyederhanakan mata uang tanpa mengubah nilai asli dari mata uang tersebut.
Hal yang akan timbul jika sosialisasi tidak diterapkan dengan baik, menurutnya akan memicu kepanikan yang justru akan menyebabkan inflasi bahkan hiperinflasi. "Waktu di zaman krisis 1998 kita mengalami inflasi yang cukup tinggi. Semua panik dan mendorong inflasi. Hal yang sama juga akan terjadi jika panik di masyarakat timbul dan mendorong inflasi," kata Enny.
Lebih jauh Enny juga menyampaikan kondisi ekonomi yang saat ini masih terbilang baik juga perlu menjadi acuan khusus dalam menjalakan redominasi. Jangan sampai, kondisi ekonomi yang saat ini baik, karena menjalankan redominasi justru berpotensi memperburuk ekonomi nasional.
"Di berbagai negara, redominasi dilakukan jika memang terjadi hiperinflasi. Itu pun membutuhkan waktu yang cukup lama. Karena itu, jika memang kondisi ekonomi kita cukup baik maka konsep redominasi juga tidak urgent. Apalagi jika tidak ada benefit sama sekali," ujarnya.
SItuasi yang akan hangat di tahun depan, lanjut Enny adalah suhu perpolitikan nasional. Dia khawatir karena banyaknya intervensi politis justru menyebabkan konsep redominasi ini terombang-ambing. Imbasnya, ada aturan yang bakal timbul hanya dari kebijakan politis.
"Politik di tahun 2014 akan sangat masif dan panas. Kebijakan yang diambil harus tenang. Saya takut nanti sarat dengan kepentingan politis. Hal ini yang harus hati-hati dan perhatikan nantinya. Jangan-jangan cuma dijadikan momentum saja," tuturnya.
Sumber : INILAH.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar