Bank Indonesia (BI) berkeinginan mengangkat citra uang rupiah diantara mata- uang negar-negara di dunia. Gubernur BI mengusulkan untuk meredenominasi uang rupiah dengan menghapus tiga angka nol disetiap lembar rupiah. Jadi, uang pecahan dengan nilai Rp 100.000 kelak akan berubah menjadi Rp 100.
Sepintas, memang, kebijakan itu dapat mengangkat derajat rupiah di mata uang dunia. Jika saat ini satu dolar AS harganya Rp 9.600, maka kelak kursnya cuma Rp 9,6. Kurs rupiah terhadap sejumlah mata asing pun seolah-olah akan menguat. Singkat kata, kebijakan redenominasi diharapkan dapat mengangkat derajat rupiah dari dalam keranjang 10 mata uang sampah.
Sebenarnya bukan kali ini saja pemerintah mengutak-atik rupiah. Tahun 1950, misalnya, Menteri Keuangan Syafrudin Prawiranegara melakukan pemotongan mata uang rupiah atau sanering untuk mengerem inflasi. Namun kebijakan yang dikenal dengan “Gunting Syafrudin” ini justru membuat harga-harga kian meroket.
Presiden Soekarno pun memerintahkan Maladi, Menteri Muda Penerangan, untuk melakukan sanering kedua pada 25 Agustus 1959. Tak hanya itu. Simpanan giro dan deposito milik masyarakat dibekukan dan kemudian diubah menjadi simpanan berjangka. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pun didevaluasi 74,5%.
Akibat kebijakan itu, kekayaan rakyat yang dikumpulkan bertahun-tahun ludes dalam sekejap. Sementara masalah ekonomi tak juga membaik. Demikian pula posisi rupiah terhadap mata uang asing semakin terpuruk. Anehnya, pemerintah Soekarno justru kembali melakukan sanering ketiga pada 13 Desember 1965.Uang lama Rp 1.000 diganti uang nilai baru Rp 1.
Kebijakan itu membuat perekonomian Indonesia semakin kacau. Harga barang-barang terus meroket, bahkan inflasi sempat menyentuh 594%. Puncaknya terjadi pada 1966, ketika inflasi mencapai 635,5%. Rakyat pun kian menderita karena pendapatan mereka yang hanya US$ 80 per tahun habis dimakan inflasi. Buruknya perekonomian ini menjadi pendorong kejatuhan Orde Lama.
Di masa pemerintahan Orde Baru, kebijakan sanering memang tak lagi dipergunakan. Namun di bawah Presiden Soeharto, rupiah beberapa kali didevaluasi. Tahun 1971, misalnya, kurs rupiah dipotong 10% menjadi Rp 415 per dolar. Kemudian lewat kebijakan Kenop 1978, dolar Amerika dipatok di level Rp 625. Maret 1983 nilai rupiah kembali didevaluasi dari Rp 700menjadi Rp 970 per dolarAS.
Ketika krisis moneter melanda Indonesia, 1997, pemerintah justru membiarkan rupiah mengambang bebas (free floating). Sikap ini berbeda dengan kebijakan pemerintah Malaysia yang mematok dolar AS pada level tertentu. Alhasil, nilai rupiah pun terpuruk. Apalagi setelah BI mencetak uang pecahan Rp 50.000. Puncaknya terjadi April 1998, ketika itu nilai rupiah rontok menjadi Rp 17.200 per dolar. Kirisis moneter ini membuat Pak Harto lengser.
Betul, setelah reformasi nilai tukar rupiah relatif stabil. Namun pamornya telah jatuh terhadap sejumlah mata uang asing, terutama terhadap dolarAS. Terlebih sejak BI menerbitkan uang pecahan Rp 100.000 pada 1999. Maka jangan kaget bila kemudian rupiah dikelompokkan sebagai uang sampah, bersama sembilan mata uang lainnya.
Nah, untuk mengangkat kembali martabat rupiah, BI berencana meredenominasi rupiah. Namun banyak kalangan yang tidak setuju dengan rencana itu. Walau pun redenominasi berbeda dengan dengan sanering maupun devaluasi, namun mereka khawatir kebijakan itu justru akan menimbulkan spekulasi dan meroketnya harga-harga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar