Penjual bubur ayam di mulut salah satu gang di Jalan Sabang, tempat saya sering menikmati sarapan pagi, terhitung sangat likuid di kelasnya. Cuma kalangan yang datang mampir tentu hanya mereka yang tempat kerjanya di sekitar, orang-orang yang suka bubur ayam dan yang tidak terusik rasa "gengsinya" bila kepergok sarapan di kaki lima.
Sebuah supermarket disiapkan untuk pengunjung lintas segmen. Dalam kacamata awam saja kita bisa membayangkan bahwa produk yang dijual harus beragam, area belanja yang luas, aksesnya harus mudah, pelayanan yang lancar, tempat parkirnya yang cukup, teknologinya harus canggih, dan persyaratan-persyaratan lainnya. Pemenuhan persyaratan-persyaratan itu, tak bisa parsial. Ruang yang luas dan teknologi yang canggih tak banyak berguna bila variasi produk yang dijual terbatas. Pelayanan nasabah akan stuck apabila teknologi tidak menunjang. Salah satu teknik marketing yang banyak dilakukan oleh sebuah supermarket adalah loss leader, yaitu menjual suatu barang dengan harga banting, bila perlu merugi dengan harapan pengunjung yang ramai akan membeli produk yang lain.
Sebuah bursa berjangka, menurut hemat saya, akan meberikan manfaat optimal bila ia dirancang untuk menjadi sebuah financial supermarket. Ada banyak argument yang menunjang pendapat di atas. Pertama, setiap unit usaha menghadapi labirin risiko harga yang kompleks. Sebuah perusahaan manufaktur, misalnya, mengahadapi risiko (naiknya) harga bahan mentah dan bahan pembantu, risiko (turunnya) harga barang jadi, risiko fluktuasi nilai tukar dan risiko (naiknya) tingkat bunga. Tentu saja akan lebih nyaman melakukan hedging di satu bursa ketimbang harus melakukannya secara simultan di berbagai bursa. Lebih nyaman belanja berbagai kebutuhan di sebuah supermarket ketimbang belanja di sepuluh toko kelontong yang berbeda-beda.
Kedua, likuiditas adalah fungsi trading population. Akses masuk ke sebuah bursa tergantung sepenuhnya pada kecanggihan teknologi. Betapapun nikmatnya bubur ayam yang dijajakan oleh gerobak di gang sempit, pasti tidak mampu menarik pengunjung secara massif. Akan ada trade off antara kenikmatan makanan dan ketidak-nyamanan akses dan sarana.
Ketiga, dari kacamata investor, sebuah financial supermarket memberikan sarana yang memudahkan diversifikasi portfolio. Banyak studi empiris membuktikan adanya korelasi imbal hasil yang negatif antara imbal hasil investasi saham dan imbal hasil investasi komoditi, korelasi negatif antara pergerakan harga emas dan harga US dolar dan semacam itu. Perubahan komposisi portfolio dalam rangka mengatur eksposur risiko hanya kan optimal bila tersedia variasi instrumen yang kaya dan likuid. Alokasi dana sebuah country fund pada sebuah bursa efek sangat ditentukan oleh besarnya kapialisasi pasar. Daya tarik sebuah bursa berjangka sangat ditentukan oleh tingkat likuiditas. Kelengkapan produk di sebuah supermarket sangat menentukan tingkat perputaran penjualannya.
Industri perdagangan berjangka seperti apa yang ingin kita bangun di Indonesia? Pedagang asongan di gang sempit atau sebuah supermarket? Jawabannya tidak bisa dilakukan hanya oleh satu institusi, tapi harus menjadi konsensus seluruh pemangku kepentingan. Mengutip Fred Poltak, seorang psikolog Belanda: "Factor utama yang mempengaruhi keberhasilan sebuah peradaban dunia, adalah visi kolektif yang dimiliki oleh para individu mengenai masa depan meraka"........
Oleh Hasan Zein Mahmud
Source : bbj-jfx.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar