Maraknya diskursus tentang kesetaraan gender adalah sesuatu yang wajar, mengingat kini lebih dari 1 abad sejak kelahiran RA Kartini— fakta-fakta terkait ketidaksetaraan gender masih jelas terpampang di depan mata. Diskriminasi, perlakuan tak adil, eksploitasi, pelecehan, penistaan, masih sering dialami perempuan di mana-mana. Kendati keadaannya sudah jauh lebih baik daripada era Kartini, akan tetapi berbagai kasus di atas setidaknya bisa dijadikan pranala bahwa perjuangan mencapai kesetaraan gender di Indonesia masih belum menampakkan hasil seperti yang diharapkan.
Salah satu penyebabnya adalah karena masih adanya kekeliruan pemahaman, dimana kesetaraan gender dianggap sebagai pertarungan konfrontatif perempuan vis a vis laki-laki. Laki-laki dianggap sebagai penakluk (conquerer) dan perempuan adalah pihak yang ditaklukkan (conquered), dimana perjuangan mencapai kesetaraan gender dipandang sebagai upaya pembalikan posisi di antara keduanya. Padahal inti dari kesetaraan gender bukan meneguhkan siapa yang mendominasi dan didominasi, melainkan menemukan koridor untuk saling berbagi secara adil dalam segala aktivitas kehidupan tanpa membedakan pelakunya laki-laki ataupun perempuan.
Sementara itu, perjuangan mencapai kesetaraan gender juga masih dilakukan secara parsial, sekadar upaya ‘melawan’ dominasi laki-laki atas perempuan dalam berbagai bidang pekerjaan. Tingkat kesetaraan pada akhirnya cenderung diukur secara kuantitatif, dihitung dari jumlah representasi perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan yang secara tradisional didominasi oleh laki-laki. Tidak mengherankan jika pada masa lalu pernah ada kebijakan yang mengharuskan keterwakilan perempuan di parlemen sebanyak 30 persen. Hal itu merupakan imbas dari pemikiran kuantitatif, yang menganggap capaian angka-angka lebih penting daripada kualitas perseorangan.
Banyak orang membicarakan kesetaraan gender, akan tetapi yang dikemukakan kemudian adalah data-data tentang berapa jumlah perempuan yang menjadi presiden, menteri, jenderal, dirjen, kepala, direktur, anggota legislatif, dan sebagainya. Pola pikir semacam ini tidak salah, namun juga tidak bisa dikatakan seratus persen benar, karena sejatinya esensi kesetaraan gender jauh lebih dalam dari sekadar kuantitas perempuan yang berhasil memasuki ‘ranah’ laki-laki.
Eksistensi perempuan dalam berbagai bidang pekerjaan hanyalah sebagian dari hasil perjuangan untuk mencapai kesetaraan gender, sementara perjuangannya sendiri terletak pada upaya meningkatkan sumber daya perempuan agar memiliki keunggulan komparatif sekaligus kompetitif, seperti yang telah dimiliki sebagian besar kaum laki-laki.
Harus disadari bahwa mayoritas sistem budaya di Indonesia berakar pada sistem patriarki, yang tidak kondusif bagi berkembangnya kesetaraan gender (gender equality). Di banyak sistem budaya suku-suku yang ada di Indonesia, pembagian tugas yang dianggap normal adalah jika laki-laki menangani kegiatan produktif, dan perempuan menangani kegiatan domestik seperti mengasuh anak dan mengurus rumahtangga. Keadaan ini tidak bisa dilawan secara frontal dengan mengubah pondasi budaya yang sudah berlangsung selama ratusan tahun, namun secara bijak dapat disiasati melalui peningkatan kapasitas sumberdaya intelektual perempuan.
Kendala terbesar kaum perempuan selama ini adalah mereka tidak memahami bahwa mereka berada dalam posisi tersubordinasi. Minimnya pengetahuan membuat banyak perempuan tidak menyadari bahwa mereka terdiskriminasi dan dieksploitasi, bahkan ironisnya banyak pula yang menganggap segala bentuk ketidakadilan yang mereka alami—yang sebagian ‘dilegalkan’ oleh sistem sosial—adalah sebuah kewajaran yang harus diterima dengan lapang dada. Kita dapat melihat secara kasat mata, terutama di wilayah-wilayah perdesaan yang tingkat pendidikannya rendah, diskriminasi struktural terhadap perempuan lazim terjadi tanpa disadari oleh para perempuan yang menjadi korbannya.
Jelas bahwa ketidaktahuan (baca: kebodohan) merupakan biang-keladi terjadinya ketidaksetaraan gender. Oleh karena itu, pendidikan sangat diperlukan bagi kaum perempuan untuk memperluas cakrawala berpikir serta memahami posisi mereka di tengah masyarakat. Seiring dengan peningkatan kapasitas intelektual dan kesadaran posisi perempuan, kemampuan meretas jalan untuk keluar dari subordinasi secara otomatis akan muncul. Di sisi lain, pendidikan juga akan menjadi kunci pembuka pintu gerbang korporasi, dimana dengan tingkat pendidikan yang tinggi perempuan bisa menempatkan dirinya untuk bersaing secara sehat dengan laki-laki di segala lini.
Jika kapasitas intelektual perempuan telah terbangun, perempuan tidak perlu lagi meminta kuota agar diberi hak istimewa (privilage) oleh sistem yang patriarkis untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu. Hal ini sesuai dengan kaidah kesetaraan gender, dimana kesetaraan sejatinya bukanlah sesuatu yang given atau dianugerahkan, melainkan harus diperjuangkan sendiri oleh kaum perempuan.
Penganugerahan posisi tertentu untuk perempuan justru menunjukkan bahwa perempuan memang tidak memiliki kemampuan dan kepercayaan diri untuk bersaing secara terbuka dengan laki-laki. Bangsa Indonesia bisa belajar dari negara-negara maju, dimana di sana sudah tidak ada lagi pembagian pekerjaan berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kewajiban sama dalam pekerjaan, asalkan memiliki kapasitas dan kapabilitas memadai di bidang tersebut.
Dan itu terjadi bukan karena pemberian hak istimewa kepada perempuan agar bisa terlibat dalam suatu pekerjaan tertentu, melainkan karena sistem meritokrasi diterapkan secara sungguh-sungguh dalam rekrutmen pegawai. Standar yang dipakai untuk penilaian adalah kualitas perseorangan, bukan jenis kelamin. Namun pembelajaran tersebut harus diimbangi dengan upaya mengubah cara pandang terhadap kesetaraan gender itu sendiri, yang dalam beberapa hal bisa jadi tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya lokal yang telah mapan.
Ini tidak mudah, karena beberapa sistem budaya tidak bisa mentoleransi konsep kesetaraan gender dengan alasan yang sangat mendasar. Dalam hal ini, kearifan sangat diperlukan untuk memandang persoalan dalam kerangka yang lebih luas, dan meninjaunya dari sisi optimalisasi manfaatnya bagi hajat hidup orang banyak.
Source : blogs.depkominfo.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar