Meski di bawah bayang-bayang tren penurunan, sebetulnya pada pembukaan pasar Senin pekan lalu, indeks mampu menjungkalkan prediksi sebagian analis. Terbukti, indeks sempat rebound 41 poin ke level 2.063, ketika sesi perdagangan pertama dibuka. Dampak pengambilalihan dua perusahaan pembiayaan rumah di Amerika Serikat, Fannie Mae dan Freddie Mac, rupanya memberikan andil tak sedikit atas bergairahnya bursa-bursa di Asia, tak terkecuali bursa Tanah Air.
Kali ini, lantai bursa memang babak belur. Optimisme yang selama ini tumbuh di pasar finansial pun goyah. Coba tengok kapitalisasi market yang dimiliki BEI. Jika per 1 September lalu posisinya masih di angka Rp 1.718 trilyun, dua minggu kemudian melorot hingga Rp 1.443 trilyun. Bahkan, dalam sepekan lalu saja, kapitalisasi market di BEI menurun Rp 180 trilyun.
Hampir semua pelaku pasar tak menyangka kejatuhan pasar modal kita sedalam itu. Maklum, sepanjang 2007, lantai bursa kita terasa gegap gempita. Tahun lalu, indeks mencapai rekor pertumbuhan 52%, sekaligus terbesar sepanjang empat tahun terakhir. Prestasi ini hanya bisa dikalahkan pasar saham Cina. Tak kurang dari Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian, yang ketika itu masih dijabat Boediono, menyatakan optimismenya.
Optimisme itu terus berlanjut manakala di awal tahun indeks sempat menyentuh angka 2.830 (9 Januari 2008). Itu berarti, pada saat ini, posisi indeks kita tergerus hampir 1.000 poin selama sembilan bulan terakhir.
Direktur Utama BEI, Erry Firmansyah, pun sepakat bahwa anjloknya indeks bukan lantaran fundamental ekonomi Indonesia terpuruk. Menurut dia, tak ada masalah pada pasar modal Indonesia. "Sentimen ini lebih banyak dipengaruhi faktor eksternal," katanya.
Erry justru menyarankan agar investor lokal memanfaatkan kondisi ini dengan membeli saham-saham yang kini dibanderol dengan harga murah. Namun pintu masuk bagi investor lokal itu mesti dilalui secara hati-hati. "Cari saham-saham yang faktor eksternalnya minim," analis Adrian menambahkan. Selain itu, investor pun mesti cerdik memilih emiten yang fundamentalnya terbilang oke.
Tak dimungkiri, faktor eksternal tampaknya masih menjadi faktor dominan rentetan kebangkrutan indeks pada pekan ini. Kali ini, giliran kabar dari Lehman Brothers yang jadi pemicu. Bank investasi terbesar keempat di “negeri Paman Sam” itu mengumumkan diri akan mendaftarkan kebangkrutan perusahaannya dalam waktu dekat. Berita ini pun langsung membuat bursa-bursa utama dunia ikut termehek-mehek. Tutupnya pasar saham Hong Kong, Jepang, dan Korea pada Senin lalu karena libur nasional membuat indeks makin tidak bisa menahan gejolak eksternal.
Gonjang-ganjing pasar modal itu memaksa Menteri Keuangan, Sri Mulyani, ikut bicara. Pemerintah, katanya, berharap agar investor tidak menanggapi gonjang-ganjing pasar modal dalam negeri ini secara berlebihan. "Kita tetap waspada dan hati-hati, tapi jangan panik," ujar Sri Mulyani, yang merangkap sebagai Menko Perekonomian.
Sri Mulyani juga meyakinkan bahwa pada saat ini, secara makro, keadaan dan likuiditas ekonomi Indonesia tetap terjaga. Pada saat ini, fundamental ekonomi Indonesia tidak berbeda. Karena itu, Sri Muyani optimistis, kondisi ini segera berlalu. "Bahkan, saya perkirakan, pertumbuhan ekonomi akan lebih baik," ia menambahkan.
Optimisme yang disuarakan Sri Mulyani sah saja, seperti optimisme yang diembuskan Menko Boediono pada awal tahun lalu. Masalahnya, seberapa lama pemerintah bisa menjaga optimisme itu bila asing terus menggerogoti pasar kita?
Yah inilah bursa, selalu ada yang untung dan ada yang buntung.
Sumber : Majalah Gatra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar