Perekonomian Indonesia diwarnai oleh perkembangan yang terjadi pada perekonomian global. Perkembangan positif yang terjadi di pasar keuangan global sejak beberapa bulan terakhir, terus berlanjut pada bulan Mei 2009. Hal tersebut tercermin pada membaiknya kondisi pasar saham internasional dan terus menurunnya indikator persepsi risiko (Credit Default Swap) di berbagai negara. Sementara itu, hasil “stress test” perbankan di Amerika Serikat menunjukkan hasil yang lebih baik dari perkiraan banyak pihak. Hal tersebut juga telah menambah akar optimisme terhadap membaiknya kondisi perekonomian global.
Harapan perbaikan pada ekonomi global tersebut telah membangun sentimen positif pada para pelaku pasar, yang juga dirasakan pada perekonomian Indonesia. Indikator persepsi risiko seperti CDS spread Indonesia terus menurun, dari 403bps pada akhir April 2009 menjadi sekitar 333bps pada akhir Mei 2009. Di pasar domestik, sentimen positif pada perekonomian dunia dan mulai berangsur pulihnya keketatan likuiditas di pasar keuangan global telah mendorong aliran modal masuk ke dalam negeri. Kondisi ini berdampak positif pada penguatan mata uang rupiah, peningkatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan perbaikan yield Surat Utang Negara (SUN). Arus modal masuk juga memperkuat cadangan devisa Indonesia yang mencapai 57,9 miliar dolar AS atau dapat membiayai kebutuhan 6,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri (ULN) Pemerintah.
Meski menunjukkan tanda-tanda perbaikan, secara umum perekonomian negara maju masih belum pulih sepenuhnya dan menunjukkan angka perlambatan. Sementara itu, risiko dan ketidakpastian ekonomi global juga masih cukup tinggi. Hal tersebut berdampak pada kinerja perekonomian Indonesia yang masih terus tertekan. Kondisi ekspor Indonesia masih melemah, meski beberapa harga komoditas ekspor telah mengindikasikan peningkatan. Di sisi lain, impor juga mengalami pelemahan seiring dengan melemahnya permintaan dalam negeri dan anjloknya impor bahan bakar minyak sejalan dengan program konversi minyak tanah dan diversifikasi energi.
Di tengah tekanan dari perekonomian global tersebut, perekonomian Indonesia masih dapat tumbuh lebih baik dibandingkan dengan negara kawasan. Pertumbuhan yang lebih baik itu didukung oleh permintaan domestik yang masih cukup besar dan menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi dalam triwulan I-2009 tercatat sebesar 4,4% (yoy). Meski menurun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, konsumsi masyarakat Indonesia tumbuh 5,8% atau berada di atas perkiraan sebelumnya. Angka tersebut, mampu menahan penurunan pertumbuhan ekonomi lebih dalam. Tingginya konsumsi tersebut didorong oleh beberapa program stimulus pemerintah seperti BLT, serta kenaikan gaji PNS, dan meningkatnya Upah Minimum Propinsi (UMR) di berbagai daerah. Di samping itu, meningkatnya konsumsi rumah tangga juga didorong oleh maraknya aktivitas Pemilihan Umum (Pemilu) yang tampak dari pertumbuhan sektoral seperti pengeluaran subsektor jasa periklanan, komunikasi, industri makanan, hotel dan restoran, serta percetakan.
Pada saat bersamaan, tekanan pada perekonomian Indonesia dapat terlihat dari menurunnya pertumbuhan investasi pada tahun 2009. Penurunan tersebut terutama disebabkan oleh menurunnya permintaan, baik dari melemahnya permintaan ekspor maupun permintaan domestik, yang kemudian diikuti oleh melemahnya pembiayaan. Investasi non-bangunan telah mencatat pertumbuhan yang negatif, sementara investasi bangunan masih dapat bergerak seiring dengan masih berjalannya pembangunan infrastruktur secara terbatas.
Seiring dengan masih melemahnya perekonomian domestik, kecenderungan rendahnya inflasi negara mitra dagang, serta membaiknya ketersediaan bahan makanan, tren penurunan inflasi secara tahunan masih terus berlanjut. Inflasi IHK pada bulan Mei 2009 tercatat sangat rendah, yaitu sebesar 0,04% (mtm) atau 6,04% (yoy). Tingkat inflasi tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan pola historisnya selama lima tahun terakhir yang mencapai 0,48% (mtm). Rendahnya tekanan inflasi terutama didukung oleh penurunan tekanan inflasi dari faktor nonfundamental, yaitu dari rendahnya harga bahan makanan yang bergejolak (volatile food) dan harga barang yang ditentukan Pemerintah (administered prices). Sementara itu, perkembangan faktor fundamental yang kondusif mendukung menurunnya tekanan pada inflasi inti. Nilai tukar yang menguat, masih lemahnya permintaan domestik, serta ekspektasi inflasi yang masih menurun menjadi faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya inflasi inti tersebut. Dengan perkembangan itu, inflasi IHK dari Januari sampai dengan Mei 2009 baru tercatat sebesar 0,1%.
Di sektor keuangan dan moneter, sejumlah indikator seperti laju pertumbuhan uang kartal, M1, dan kredit mengkonfirmasi terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan uang kartal, M1 riil, transaksi perbankan via RTGS maupun kliring menunjukkan kecenderungan menurun. Di sisi lain, pertumbuhan kredit masih menunjukkan perlambatan. Di tengah pertumbuhan dana pihak ketiga yang cukup tinggi, rendahnya ekspansi kredit mendorong peningkatan likuiditas perbankan. Meski pertumbuhan kredit perbankan masih sangat terbatas, beberapa sektor korporasi mulai mencari alternatif sumber pendanaan melalui saham dan obligasi yang diperkirakan terus meningkat sejalan dengan insentif pajak dan kemudahan Initial Public Offering (IPO).
Penurunan BI rate sejak Desember 2008 telah direspon secara positif oleh perbankan meski masih dalam skala yang terbatas. Penurunan suku bunga BI rate sejak Desember 2008 telah direspons oleh penurunan suku bunga deposito sebesar 136 bps. Sementara itu, sejak bulan Desember, secara agregat suku bunga kredit modal kerja mengalami penurunan sebesar 31 bps.
Secara mikro, kondisi perbankan nasional relatif stabil. Berbagai indikator mendukung kondisi tersebut, antara lain modal perbankan secara nasional dan rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) per April 2009 yang tetap positif mencapai level 17,6%. Sementara itu, rasio gross Non Performing Loan (NPL) tetap terkendali di bawah 5%. Likuiditas Perbankan, termasuk likuiditas dalam pasar uang antar bank makin membaik dan Dana Pihak Ketiga (DPK) meningkat. Penyaluran kredit dalam bulan April 2009 mulai meningkat meski belum optimal.
Ke depan, perekonomian domestik diperkirakan masih akan mengalami perlambatan pada Triwulan II-2009 sejalan dengan proyeksi sebelumnya. Meski demikian, aktivitas Pemilu diperkirakan akan terus memberikan dampak yang positif pada konsumsi rumah tangga sehingga konsumsi rumah tangga pada triwulan II-2009 diperkirakan masih tumbuh cukup tinggi. Namun, upaya untuk menjaga keberlanjutan pertumbuhan ekonomi pada triwulan-triwulan selanjutnya membutuhkan berjalannya stimulus fiskal dan moneter secara efektif. Apabila efektivitas stimulus perekonomian dapat ditingkatkan, Bank Indonesia memperkirakan perekonomian dapat tumbuh mendekati batas atas 3-4%.
Sementara itu, kecenderungan penurunan inflasi diperkirakan masih terus berlanjut. Dari sisi eksternal, hal ini didukung oleh masih cenderung rendahnya inflasi di negara-negara mitra dagang. Dari sisi domestik, rendahnya tekanan inflasi didukung oleh masih lemahnya permintaan domestik, masih rendahnya tingkat penggunaan kapasitas, dan minimnya tekanan harga dari kelompok barang-barang yang diatur Pemerintah (administered price). Dengan perkembangan tersebut, prakiraan inflasi untuk triwulan II-2009 diperkirakan mencapai 4,3-4,6%, dan pada tahun 2009 akan berada pada kisaran bawah proyeksi 5%-7%.
Dengan mempertimbangkan perkembangan-perkembangan tersebut di atas, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 3 Juni 2009 memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar 25 bps, dari 7,25% menjadi 7,00 %. Keputusan tersebut diharapkan dapat mendukung upaya menjaga gairah pada pertumbuhan ekonomi domestik dengan tetap menjaga kestabilan harga serta sistem keuangan dalam jangka menengah.
Ke depan, Bank Indonesia akan senantiasa mencermati berbagai perkembangan perekonomian global maupun domestik dan memperhitungkan dengan seksama dampaknya pada perekonomian secara keseluruhan. Bank Indonesia juga akan tetap melanjutkan kebijakan yang mendukung perbaikan ekonomi melalui stimulus moneter apabila ruang bagi pelonggaran kebijakan moneter masih tetap terbuka, secara khusus apabila tekanan inflasi terus menurun.
Sumber : BI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar