Jika ada perasaan berkecamuk seperti itu sebenarnya manusiawi. Bayangkan hanya dalam tempo dua bulan (IHSG) Harga Saham Gabungan Bursa Efek Indonesia (BEI) terkoreksi begitu dalam, 31,34 persen. Jika pada awal September Indeks BEI masih bertahan di posisi 1.832,507 dengan kapitalisasi pasar Rp1.464, 32 triliun, maka pada akhir Oktober telah merosot menjadi 1.256,704 dengan kapitalisasi pasar tersisa 1.071 triliun. Angka itu sudah relatif bagus, karena indeks pernah mencapai titik terendah pada 28 Oktober di level 1.111,39. Jika dihitung dari posisi indeks tertinggi 2008 yang pernah menyentuh 2.838, maka penurunan indeks BEI hingga akhir Oktober lalu lebih dasyat lagi, 55,7 persen.
Bisa jadi tidak ada satupun pelaku pasar termasuk fund-fund manager yang mampu mengelak dari kerugian. Di atas kertas, jika indeks merosot 50 persen berarti kekayaan pemodal juga terkuras sebesar 50 persen. Jika di awal 2008, investor memiliki dana untuk investasi di Pasar Modal Indonesia sebesar Rp100 miliar, maka pada akhir Oktober dananya telah menyusut menjadi Rp44,3 miliar.
Memang BEI tidak sendiri. Sebab bursa lain di dunia terutama negara yang ekonominya maju juga mengalami nasib serupa. Persoalannya apakah kerugian itu harus diratapi terus menerus tanpa upaya apapun? Apakah kecemasan itu harus menenggelamkan masa depan? Apakah ketakutan terhadap aksi jual telah menghilangkan nyali untuk investasi? Apakah pasar modal sudah tidak pantas lagi menjadi lahan investasi yang menggiurkan? Semua pertanyaan ini patut kita renungkan.
Account Baru
Cobalah jalan-jalan ke daerah dan tanyakan ke perusahaan sekuritas di sana. Begitu mencengkamkah kondisi pasar saat ini? Kecemasan boleh, tapi akal sehat harus tetap dijaga. Fakta menyebutkan dalam satu bulan terakhir ini ada fenomena menarik yang patut dicermati. Banyak pembukaan account baru. Artinya, cukup banyak masyarakat yang ancang-ancang dan memecah celengan untuk investasi saham. Hanya saja mereka sedang mencari timing yang tepat: Kapan pasar mencapai batas terendah?
Marilah kita lihat krisis ini dengan logika sederhana. Adakah pasar yang turun terus menerus? Adakah pasar yang naik terus menerus? Dengan logika ini kita akan sadar bahwa penurunan harga pasti ada batasnya. Demikian juga kita harus sadar bahwa ketika pasar semarak tidak akan naik terus menerus, pasti akan ada gerakan ambil untung (profit taking) untuk sesaat. Logika sederhana ini juga bisa diterapkan dalam menyimak pasar yang tengah dilanda krisis. Yakinlah bahwa harga saham tidak akan turun terus. Karenanya dalam suasana pasar yang tengah volatile dan penuh ketidakpastian, pemodal sebaiknya bersikap tenang, tidak panik, tidak kehilangan akal, tidak mengambil tindakan fatal dan tetap bisa berpikir jernih.
Fakta membuktikan, pasar memang tidak akan terus menerus tersungkur. Sejak akhir Oktober lalu 30 dan 31 Oktober, investor seolah memperoleh pasokan energi, bangkit dan melalap saham-saham unggulan yang sudah kelewat murah. Indeks yang pada 28 Oktober 2008 ditutup di posisi 1.111,39 terbang hingga ke posisi 1.369,785, bahkan sempat menyentuh titik 1.400.
Memang, cukup banyak analis dan pelaku pasar yang menyebut bahwa kenaikan IHSG BEI di penghujung Oktober dan awal November itu hanyalah angin segar yang sekadar lewat setelah beberapa hari terus menerus diterjang topan. Mengapa sekadar lewat? Karena gemuruh topan masih belum sirna seratus persen.
Antisipasi
Kondisi pasar yang volatile tersebut mesti disadari, dipahami dan diantisipasi. Karenanya, salah satu modal penting dalam investasi d pasar modal, selain tentu saja dana segar adalah mental baja, tidak gampang menyerah, punya daya tahan. Tanpa adanya kesiapan mental dalam investasi portofolio maka bisa dipastikan si investor akan mudah diombang-ambingkan situasi dan gampang terbawa arus. Kesiapan mental ini penting, mengingat banyak kegagalan investasi hanya lantaran sikap mental yang lemah, dan tidak punya keyakinan mendalam. Sebesar apapun modal yang dimiliki investor, jika tidak dikelola dengan hati-hati dan penuh disiplin, maka modal tadi bisa tergerus habis.
Harus dipahami bahwa investasi senantiasa mengandung risiko. Persoalannya bagaimana kita menghadapi dan mengelola risiko agar tidak berakibat fatal. Banyak bacaan, literatur dan tehnik dalam mengendalikan dan meminimalkan risiko. Sedikit banyak, investor portofolio semestinya juga membekali diri dengan pengetahuan manajemen risiko. Dengan begitu, ketika risiko itu datang tiba-tiba, investor telah siap. Anjloknya IHSG BEI yang begitu besar, salah satunya karena tidak siapnya mental menghadapi efek dari pasar global. Investor panik, melakukan aksi jual besar-besaran, padahal secara fundamental sebenarnya tidak ada masalah.
Namun, karena mental dikocok terus, akhirnya pasar jebol. Ibaratnya seorang yang semula sehat wal afiat, tapi secara mental dibombardir dengan fakta-fakta negatif akhirnya fundamentalnya juga goyah dan terkikis. Kita semua menyaksikan bagaimana jatuhnya mental pelaku Pasar Modal di Indonesia. Kondisi ini harus segera berakhir, kembali ke pedoman investasi: simak fundamental, dan siapkan mental yang tebal. (Tim BEJ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar