Beberapa contoh tokoh yang keberhasilannya malah tidak diikuti IPK yang jelas, contoh, Bill Gates, Quentin Tarantino dan Dave Thomas, yang dulu merupakan mahasiswa dropout, namun saat ini terbukti kecerdasannya dan telah menjadi salah satu dari bilioner terkenal di dunia. Mereka adalah sedikit contoh dari kesuksesan yang diraih bukan dengan IPK namun dengan kemampuan dan bakat yang luar biasa. Celakanya hal ini tidak nampak pada IPK.
Tentunya perumpamaan tersebut tidak dapat di teirma begitu saja, sebab kenyataannya di Indonesia dan juga negara lain, IPK tetap dijadikan tolak ukur seleksi karyawan yang sukses. Salah satu alasan yang dikemukakan para tim rekrutmen adalah karena IPK paling tidak menjadi ukuran komitmen seseorang dalam menjalankan tugas belajarnya. Sehingga diharapkan, dedikasi tersebut dapat terulang kembali saat yang bersangkutan bekerja dalam perusahaan.
IPK sendiri sering disebut menyesatkan. Standarisasi terhadap ketidakstandarisasian perguruan tinggi merupakan salah satu contoh pelik. Sampai saat ini, masih ada rasa ketidakyakinan bahwa nilai 3 (skala 4), dari sebuah perguruan negeri terkemuka akan sama dengan angka yang berasal dari perguruan tinggi lainnya, meskipun berasal dari fakultas yang sama. Masih banyak isu bahwa beberapa universitas berusaha menabur angka tinggi mahasiswanya, untuk mendongkrak popularitas. Toh ternyata hal ini tidak dapat menipu, karena saat bekerja, kualitas sebenarnya dari orang itu akan terlihat.
Selain itu, IPK sudah terlanjur dianggap sebagai perwakilan dari Intelligence Quotient atau IQ. Tentu ini sangat menyesatkan, karena IPK dapat berasal dari banyak hal dan tidak secara langsung mencerminkan kecerdasan anak. Bahkan IPK dapat pula menjadi pilihan, dimana mahasiswa yang sebenarnya cerdas, memilih untuk tidak menggunakan kemampuan secara maksimal dalam mencapai nilai tertinggi di perguruan tinggi. Belum lagi kemudian ditemukan kalau Emotional Quotient atau EQ lebih menentukan keberhasilan seseorang dalam bekerja.
Lalu bagaimana, apakah selanjutnya IPK harus dikeluarkan dari salah satu persyaratan dalam proses rekrutmen dan seleksi?
Tampaknya di lapangan tidak semudah itu. Para recruiter menyatakan bahwa IPK tetap diperlukan. Paling tidak sebagai salah satu cara untuk melakukan pra-seleksi, terutama saat jumlah pelamar mencapai puluhan atau bahkan ratusan. Sehingga proses menjadi lebih fokus.
Akhirnya semua akan tergantung pada kebijakan recruiter masing-masing perusahaan. Beberapa diantaranya menerapkan batasan untuk hanya menyeleksi mahasiswa lulusan universitas tertentu. Tetap ada yang meleset, tapi paling tidak mereka bisa berharap 70% hasilnya akan sama.
Namun mudah-mudahan penelusuran yang dalam dan jeli dilakukan perusahaan untuk memperoleh karyawan yang lebih matang dan punya potensi besar lebih berhasil dari sekedar dari sebatas IPK. Bagi clon karyawan, terus kembangkan kemampuan, IPK bukan satau-satunya standar keberhasilan mencapai masa depan yang lebih baik.
Sumber : dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar